Ribuan warga di Krayan dan Krayan Selatan, Nunukan, dilaporkan eksodus ke Malaysia. Mudahnya akses ke negeri tetangga dibanding ke ibu kota kabupaten; plus ketergantungan dengan Malaysia dan kurang diperhatikan oleh negara sendiri, menjadi penyebab utamanya.
Jika pun eksodus itu tidak terekspos, disebabkan banyak warga yang memiliki dua kartu identitas, seperti disampaikan Adri Patton, kepala Badan Perbatasan Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Tertinggal Kaltim.
Dikatakan, interaksi antara penduduk Krayan dan Malaysia terjadi sejak puluhan tahun. Ini diperkuat dengan dekatnya hubungan primordial warga di dua negara, seperti kesamaan agama, budaya, hingga kekerabatan.
“Warga keluar masuk tanpa dipermasalahkan pihak Malaysia. Ini ancaman. Suatu saat mereka bisa meminta pindah ke Malaysia. Tidak ada jalan lain selain membangun infrastruktur di perbatasan seperti bandara dan jalan,” katanya.
Dikatakan, interaksi antara penduduk Krayan dan Malaysia terjadi sejak puluhan tahun. Ini diperkuat dengan dekatnya hubungan primordial warga di dua negara, seperti kesamaan agama, budaya, hingga kekerabatan.
“Warga keluar masuk tanpa dipermasalahkan pihak Malaysia. Ini ancaman. Suatu saat mereka bisa meminta pindah ke Malaysia. Tidak ada jalan lain selain membangun infrastruktur di perbatasan seperti bandara dan jalan,” katanya.
Pemerintah bukan tanpa usaha. Adri Patton mengatakan, di luar urusan pertahanan dan keamanan yang menjadi wewenang TNI, pemerintah berkewajiban membangun kawasan perbatasan. Kaltim sejauh ini telah mengusulkan Rp 3 triliun lebih kepada pusat untuk membangun tiga kabupaten, yakni Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat.
Namun, selain terbatasnya anggaran, status kawasan menjadi penghambat utama. Adalah 1,36 juta hektare Hutan Taman Kayan Mentarang yang membuat jalan yang kadung dibangun di tiga kecamatan di Malinau belum bisa terhubung dengan ibu kota kabupaten sejak Indonesia merdeka hingga sekarang.
Adri Patton menyesalkan jika pembangunan perbatasan dikorbankan karena hanya ingin mendapat julukan paru-paru dunia. “Buat apa ada Heart of Borneo kalau masyarakat di sekitarnya sengsara. Silakan tulis besar-besar di koran: Adri Patton tidak ikhlas, haram hukumnya mengorbankan masyarakat karena pembangunan terhambat hutan lindung dan konservasi,” tambah dia.
Hetifah Sjaifuddin Siswanda, anggota Komisi X DPR dari daerah pemilihan Kaltim mengatakan, legislatif tidak mengetahui berapa sebenarnya yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah perbatasan. Meskipun sudah dibentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan, anggaran masih tersebar di kementerian. “Ada di 18 kementerian dan instansi,” ungkapnya.
Dia mengatakan, sangat mendukung jika ada forum warga perbatasan baik dari Kaltim, Kalteng, dan Kalbar yang mau ke Jakarta dan berbuat sesuatu di sana. “Lihat saja di Tawau, anak-anak TKI tidak dapat sekolah. Apalagi di perbatasan yang sangat minim fasilitas pendidikannya. Perpustakaan yang reyot dan rumah guru yang sangat menyedihkan,” terang Hetifah sembari memperlihatkan foto-foto kunjungannya ke Krayan, pekan lalu.
Tentang Malaysia yang dikabarkan membangun jalan 160 kilometer menuju Krayan, Nunukan, Adri Patton mengatakan hal tersebut adalah ancaman. Pasalnya, jalan itu dibangun tak lama setelah Pemprov Kaltim memperpanjang landasan pacu Bandara Long Bawan.
Terpisah, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengaku, belum mendengar adanya pembangunan jalan yang dimaksud tersebut. “Beberapa kali saya mengikuti Sosekmalindo dan belum pernah mendengar itu. Saya harus mengonfirmasi dahulu apakah yang membangun itu pemerintah pusat Malaysia atau negara bagiannya. Saya belum berani menanggapinya,” terang Faroek.
Namun, selain terbatasnya anggaran, status kawasan menjadi penghambat utama. Adalah 1,36 juta hektare Hutan Taman Kayan Mentarang yang membuat jalan yang kadung dibangun di tiga kecamatan di Malinau belum bisa terhubung dengan ibu kota kabupaten sejak Indonesia merdeka hingga sekarang.
Adri Patton menyesalkan jika pembangunan perbatasan dikorbankan karena hanya ingin mendapat julukan paru-paru dunia. “Buat apa ada Heart of Borneo kalau masyarakat di sekitarnya sengsara. Silakan tulis besar-besar di koran: Adri Patton tidak ikhlas, haram hukumnya mengorbankan masyarakat karena pembangunan terhambat hutan lindung dan konservasi,” tambah dia.
Hetifah Sjaifuddin Siswanda, anggota Komisi X DPR dari daerah pemilihan Kaltim mengatakan, legislatif tidak mengetahui berapa sebenarnya yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah perbatasan. Meskipun sudah dibentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan, anggaran masih tersebar di kementerian. “Ada di 18 kementerian dan instansi,” ungkapnya.
Dia mengatakan, sangat mendukung jika ada forum warga perbatasan baik dari Kaltim, Kalteng, dan Kalbar yang mau ke Jakarta dan berbuat sesuatu di sana. “Lihat saja di Tawau, anak-anak TKI tidak dapat sekolah. Apalagi di perbatasan yang sangat minim fasilitas pendidikannya. Perpustakaan yang reyot dan rumah guru yang sangat menyedihkan,” terang Hetifah sembari memperlihatkan foto-foto kunjungannya ke Krayan, pekan lalu.
Tentang Malaysia yang dikabarkan membangun jalan 160 kilometer menuju Krayan, Nunukan, Adri Patton mengatakan hal tersebut adalah ancaman. Pasalnya, jalan itu dibangun tak lama setelah Pemprov Kaltim memperpanjang landasan pacu Bandara Long Bawan.
Terpisah, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengaku, belum mendengar adanya pembangunan jalan yang dimaksud tersebut. “Beberapa kali saya mengikuti Sosekmalindo dan belum pernah mendengar itu. Saya harus mengonfirmasi dahulu apakah yang membangun itu pemerintah pusat Malaysia atau negara bagiannya. Saya belum berani menanggapinya,” terang Faroek.
Sebagai informasi, perbatasan Kaltim-Malaysia tergores sepanjang 1.038 kilometer di atas 15 kecamatan dan 249 desa. Sedikitnya 150 ribu warga bermukim 15 kecamatan itu, di mana yang terbesar adalah Nunukan.
0 comments:
Posting Komentar