Hampir semua kecamatan di Kaltim yang
berbatasan dengan
Malaysia memiliki ketergantungan tingkat tinggi dengan negeri jiran tersebut. Semua kebutuhan pokok termasuk bahan bakar minyak dan material bangunan disuplai, atas kuasa tetangga. Penjajahan ekonomi kepada masyarakat perbatasan diperparah ketidakmampuan
Indonesia membangun infrastruktur di berandanya.
Menurut Badan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Tertinggal Kaltim, dari 15 kecamatan di sepanjang 1.038 kilometer garis batas, tujuh di antaranya masih terisolisasi. Yang dimaksud terisolisasi adalah sulit dijangkau dari negeri sendiri, tapi tidak jika dari negeri seberang yang sebagian terhubung jalur darat.
Di Malinau, sejumlah kecamatan hanya bisa didatangi melalui Bandara Long Ampung yang landasan pacunya hanya 850 meter. Ada lima kecamatan yang masih terisolir, yaitu Kayan Hulu, Kayan Selatan, Kayan Hilir, Pujungan, dan Bahau Hulu. Di lima kecamatan seluas 28.713 kilometer persegi itu terdapat 10.682 jiwa yang kesulitan akses ke ibu kota Malinau.
Sementara di Nunukan, Krayan dan Krayan Selatan menjadi dua kecamatan di beranda terdepan yang hanya bisa dijangkau melalui jalur udara. Satu-satunya transportasi menuju kecamatan yang dikelilingi dataran tinggi itu adalah melalui Bandara Long Bawan, tanpa tersedia jalur darat.
Kondisi ini membuat kecamatan-kecamatan yang terisolisasi dari negeri sendiri itu mengandalkan pasokan keperluan pokoknya dari Malaysia. Di tiga kecamatan di Malinau, seperti Kayan Ulu, Kayan Ilir, dan Kayan Selatan, dilaporkan pada bulan lalu gelap gulita karena Malaysia menyetop suplai BBM.
Hal itu diakui Bupati Malinau
Yansen TP dalam rapat koordinasi Gubernur dengan bupati dan wali kota se-Kaltim, belum lama ini. Harga premium di tiga kecamatan itu mencapai Rp 25 ribu per liter. “Tetapi kami sudah berupaya berunding dengan pihak Malaysia yang juga melibatkan kepala desa, kepala adat, dan tokoh masyarakat,” ungkap Yansen.

Anggota Komisi X DPR dari daerah pemilihan Kaltim,
Hetifah Sjaifuddin Siswanda mengatakan, ketika mengunjungi
Krayan dia menemukan istilah
“enak badan” atau
“tidak enak badan.” Jika Malaysia sedang
“enak badan,” warga Indonesia boleh berbelanja tanpa dibatasi. “Tetapi jika lagi
‘tidak enak badan’ semua dibatasi,” ungkap senator dari Partai Golkar .
Adri Patton, kepala Badan Pengelola Perbatasan Kaltim mengatakan,
“enak dan tidak enak badan” itu bergantung tentara mana yang bertugas. Jika dari semenanjung
Malaysia yang memiliki kekerabatan dan budaya berbeda dengan warga perbatasan, maka yang datang adalah angin
“tidak enak badan.”
Inilah yang diduga menjadi senjata Malaysia menjajah Indonesia secara ekonomi. Kapan saja mereka mau, kata
Patton yang juga guru besar dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman, dapat dilakukan
Malaysia.
Contohnya, ditingkatkannya ruas jalan di Serawak menuju Krayan, memberikan tanda tanya besar. Sebab, ketika Sidang Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosekmalindo) beberapa waktu lalu, pihak tetangga enggan membuka pos lintas batas dengan Indonesia. Itu seperti di Simanggaris, Long Idang, dan Long Nawang. Padahal, pemerintah telah memperjuangkan sejak lama agar masyarakat di perbatasan memiliki akses ke luar.
“Di sinilah kelicikan dan kehebatan Malaysia. Mereka beralasan, untuk apa membuka pos lintas batas di Serudong (Malaysia) yang tidak ada populasinya. Tetapi begitu ada keuntungan bagi mereka, malah dibuka. Pembangunan jalan ke Krayan itu memberi tanda tanya besar,” kata Patton, kemarin, didampingi sejumlah kepala bidang dari Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan.
Berdasarkan analisisnya, Malaysia diduga sedang mengincar sejumlah hasil bumi dan produksi pertanian di perbatasan. Data Badan Perbatasan menunjukkan, hutan-hutan di perbatasan Kaltim memiliki berbagai komoditas seperti kayu alam dan hasil hutan ikutan misalnya gaharu, sarang burung walet, damar, rotan dan tumbuhan obat. Untuk barang tambang mengandung emas, uranium, batu bara, batu permata, dan lainnya.
Bahkan di Krayan, duga Patton, Malaysia ingin mengangkut komoditas andalan kecamatan itu, yakni beras Adan. Jika di Krayan dibeli sekitar Rp 25 ribu per kilogram, setelah dikemas di Serawak, Malaysia, harga jual beras sohor itu di Brunei Darussalam bisa mencapai Rp 300 ribu.
“Belum lagi ternak kerbaunya. Strategi ketergantungan itu membuat penduduk menjual hasil-hasil pertanian dengan murah ke Malaysia karena mendapat timbal balik barang-barang pokok,” ulasnya.
Apalagi, tersiar kabar bahwa perusahaan telekomunikasi Malaysia akan menyediakan jaringan seluler di sejumlah kecamatan di perbatasan. Jika jalur komunikasi dan informasi juga diberikan Malaysia, lanjutnya, posisi kecamatan di perbatasan itu kian mengkhawatirkan.
Patton menegaskan, berbagai hal itu menimbulkan embrio disintegrasi. Suatu saat, warga di perbatasan bisa meneriakkan pindah ke Malaysia sebab perhatian di sana lebih besar dibanding negara sendiri.
Hetifah kembali menambahkan, kesenjangan antardaerah yang begitu curam memperparah kondisi ini. “Secara akal sehat sulit dinafikan bahwa ini bagian dari kesalahan strategi kita sendiri. Kenapa di Tawau membangun pasar begitu besar pasti ada pertimbangannya secara ekonomi,” tambah dia.
Menurut Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, Pemprov Kaltim sebenarnya sejak lama telah membangun infrastruktur. “Dari masa Pak Warna (Suwarna Abdul Fatah, mantan Gubernur Kaltim) sudah dikerjakan kendati tidak sepenuhnya bisa ditanggung daerah,” katanya kepada sejumlah wartawan di Kantor Gubernur, kemarin.
Faroek mengatakan, sudah mengajukan beberapa usulan ke pemerintah pusat seperti peningkatan Sebatik, Nunukan, dari kecamatan menjadi kota administratif. Itu untuk menyaingi Sabah di Malaysia yang juga berstatus kota.
Semoga pusat buka kupingnya lebar-lebar, bukan janji tapi buktiiiiiiiiiiiiii.